BAB I PENDAHULUAN
Segala puji terpanjatkan kepada Allah SWT atas segala ni’mat
dan anugrah, semoga kita senantiasa dalam lindunganNya, jua semoga selalu
diberikan taufiq, hidayah, dan inayahNya.
Sholawat serta salam semoga selalu terhaturkan kepada
Baginda Agung Muhammad SAW, Nabi akhir zaman, penerima dan penyampai wahyu al
Qur’an yang menjadi pedoman umat Islam. Pula semoga sholawat dan salam tersebut
terhaturkan kepada Keluarga, Sahabat-Sahabat Beliau, dan umat manusia yang
selalu mengikuti jejak langkah Beliau hingga akhir kelak.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an
adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang
mencakup segala hal.
Juga Kitab yang ketika membacanya tidak boleh asal membaca,
lantaran firmanNya:
“Bacalah al Qur’an dengan tartil yang optimal” QS al
Muzammil: 4.
Bahkan menurut Sahabat Ali bin Abi Tholib, tartil di sini
mempunyai arti “membaguskan bacaan huruf-huruf al Qur’an dan mengetahui hal
ihwal mengenai waqof”.[1]
Maka dari itu, pemakalah bermaksud sedikit (menurut kadar
kemampuan pemakalah) mempersembahkan pembahasan “Qolqolah, Waqof dan Ibtida’”,
guna memperkaya wawasan kita perihal pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan
dengan bacaan al Qur’an.
Pada
akhirnya, pemakalah kembali bersyukur kepada yang Maha Kuasa, Allah SWT atas
segala ni’matnya, seraya berharap taufiq dan inayahNya.
Juga kami
haturkan rasa terimakasih kepada Pendidik khususnya atas kesempatan ini dan
kepada rekan-rekan semua. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan guna
langkah evaluasi lebih lanjut.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Qolqolah dan Aspek yang Menyertainya.
Qolqolah secara bahasa berarti memantul atau membal. Secara
istilah ialah memantulkan atau mengucapkan huruf dengan cara mengembalkan
kembali, sehingga terdengar seperti pantulan.[2]
Ringkas pemakalah qolqolah adalah suara yang mengagetkan
sampai pada tahap mbendal kembali.
Jadi, qolqolah dalam ilmu tajwid adalah huruf ق ط ب ج د yang dalam membacanya harus disertai
dengan bendalan-bendalan.
Cara membacanya harus disertai dengan tekanan, sehingga menimbulkan
getaran.[3]
Qoloqlah dibagi menjadi dua, shughro dan kubro.
Qolqolah shughro adalah huruf qolqolah yang sukunnya asli,
contoh: أدخلوا, فاجعل, من
قبلكم, يطمع, يقبل.
Sedangkan qolqolah kubro adalah huruf qolqolah yang sukunnya
baru, karena dibaca waqof atau karena berhenti, contoh: فى تباب, لن شديد, تبت يدا أبى لهب
وتب[4]
Qolqolah apabila ditinjau berdasarkan kekuatan dan kejelasan
suara pantulan huruf-huruf qolqolah, maka dapat dibagi ke dalam tiga (3)
bagian:
1.
A’la (paling tinggi). Maksudnya paling kuat dan paling jelas
suara pantulannya, hurufnya adalah Tho’.
2.
Ausath (Sedang). Maksudnya suara pantulannya bersifat sedang atau
pertengahan, hurufnya adalah Jim.
3.
Adna (paling rendah). Maksudnya paling rendah suara pantulannya
dibanding a’la dan ausath, huruf-hurufnya adalah Qof, Ba, dan Dal.
Kemudian bila ditinjau berdasarkan kekuatan dan kejelasan
suara pantulan, dapat dibagi menjadi tiga (3) kondisi:
1.
Shaghir (kecil), yakni bila huruf qolqolah dalam keadaan bersukun
di tengah kalimat dan bacaannyapun diwasholkan, seperti huruf Ba pada lafadz فبلك.
2.
Kabir (besar), yakni bila huruf
qolqolah disukunkan di akhir kalimat dan bacaannyapun diwaqofkan, seperti huruf
Ba pada lafadz عذاب.
3.
Akbar (paling besar), yakni bila huruf qolqolah dalam keadaan
bertasydid di akhir bacaan yang diwaqofkan, seperti huruf Bad an Qof pada
lafadz بالحق dan وتب.[5]
B. Waqof dan Ibtida’
Di antara fase dan syarat agar pembaca al Qur’an dapat
mencapai kualitas bacaan tartil optimal sebagaimana tuntutan ayat 4 surat al
Muzammil; ورتل القرأن ترتيلا adalah mengetahui dan
menguasai hal ihwal waqof.[6]
Waqof secara bahasa berarti mencegah (الكف). Sedang menurut isltilah hokum
tajwid, waqof adalah memutus suara ketika berada di akhir kalimat sekiranya
berhenti untuk bernafas. Jika berhentinya tanpa disertai nafas, maka dinamakan
‘saktah’.[7]
Mengetahui waqof dan ibtida’ merupakan hal yang penting,
menurut Dr. H. Ahmad Fathoni, Lc., MA. waqof dan ibtida’ telah menjadi agenda
pembicaraan para ulama dari dahulu hingga saat ini, sebab akan berimplikasi
terhadap penafsiran al Qur’an. Dengan memperhatikan waqof dan ibtida’ di dalam
membaca al Qur’an akan kelihatan ketepatan makna ayat-ayat al Qur’an. Oleh
karenanya, tanda waqof adalah laksana ‘kompas’ penentu arah keman harus dituju.
Dalam Study Ulumul Qur’an juga dipaparkan sedikit mengenai
urgensi pengetahuan waqof dan ibtida’ dalam cara menyempurnakan bacaan al
Qur’an demi menjaga kebenaran arti ayat-ayat, supaya terjaga dari interpolasi
(percampuran) dan kesalahan.
Singkat pemakalah, waqof adalah tempat pemberhentian bacaan,
dan ibtida’ merupakan tempat dimana pembaca memulai bacaannya kembali.
Tentang pembagian waqof, terdapat perbedaan ulama, dalam
Hidayatul Mustafid waqof dibagi menjadi empat (4), menurut Tuhfatul Athfal ada
tiga (3), menurut HM. Sholahuddin Hamid, MA. dalam bukunya Study Ulumul Qur’an
waqof dibagi menjadi empat (4), dan menurut Dr. H. Ahmad Fathoni, Lc., MA.
dalam bukunya Metode Maisura waqof dibagi juga menjadi lima (5).
Secara umum waqof ditinjau dari tingkatan-tingkatannya dapat
dibagi sebagai berikut:
1.
Waqof Tam, yakni waqof yang sempurna, secara istilah adalah waqof
pada akhir kalam atau pembicaraan yang sudah sempurna dan tidak terkait dengan
redaksi pembicaraan sesudahnya, baik dari segi lafadz maupun maknanya. Oleh
sebab itu untuk jenis tingkatan ini bagus diwaqofkan (baik untuk berhenti) dan
ibtida’ pada ayat selanjutnya (tanpa mengulang dari bacaan sebelumnya).
2.
Waqof Kafi, menurut bahasa yakni waqof yang cukup. Sedang menurut
istilah adalah waqof pada akhir kalam atau pembicaraan yang sudah sempurna,
akan tetapi masih ada kaitan makna (satu pembicaraan) dengan redaksi
pembicaraan sesudahnya. Oleh sebab itu untuk jenis waqof ini bagus untuk waqof,
sedangkan memulainya lagi cukup pada bacaan atau ayat sesudahnya (tanpa
mengulang dari sebelumnya).[8]
3.
Waqof Hasan, waqof yang baik, secara istilah ialah waqof pada akhir
kalam atau pembicaraan yang sudah sempurna, akan tetapi masih ada kaitan dengan
redaksi pembicaraan sesudahnya, baik dari segi lafadz maupun maknanya. Artinya
lafadz sesudahnya mungkin masih menjadi sifat atau badal atau mauthuf (dalam
ilmu nahwu) atau semacamnya. Oleh karena itu, untuk jenis tingkatan waqof ini
hakikatnyasudah boleh diwaqofkan, sebab makna redaksinya sudah bisa dipahami.
Maka apabila waqof dipertengahan ayat, untuk memulainya lagi harus dari
sebelumnya, dengan arti dari lafadz mana
saja sepanjang memenuhi syarat untuk ibtida’ agar tidak terjadi cacat makna.
4.
Waqof Qobih, yakni waqof yang jelek. Sedang menurut istilah ilmu
tajwid, waqof atau berhenti pada akhir kalam atau pembicaraan yang belum
sempurna dan belum dapat dipahami. Oleh karena itu, untuk jenis tingkatan ini
tidak boleh diwaqofkan, kecuali dalam keadaan darurat, misalnya kehabisan nafas
atau ada kejadian mendadak yang mengharuskan untuk waqof. Maka bila terpaksa
waqof, haruslah ibtida’ dari sebelumnya atau sebelumnya lagi dari lafadz mana
saja yang memenuhi syarat untuk ibtida’ agar tidak terjadi cacat makna. Missal
waqof pada lafadz yang berposisi sebagai fi’il (kata kerja) tidak dengan fa’il
(subyek)nya. Atau berhenti pada lafadz dengan posisi mudlof tidak dengan mudlof
ilaihnya.
5.
Aqbahul Waqfi, yakni waqof yang palinh jelek, waqof yang dapat
mengakibatkan rusaknya makna dan maksud isi kandungan al Qur’an. Apabila
pembaca mengetahui maknanya dan sengaja waqof, masyhuril ulama mengharamkan
hukumnya, bahkan jika disertai dengan I’tiqod dalam hati tentu bias menjadikan
kufur (na’udzubillah min dzaalik).
Contoh aqbahul
waqfi salah satunya jika membaca ayat وما من اله الا الله, dan pembaca membaca وما من اله.
Adapun hal ihwal waqof yang terbahas pada literature utama
adalah empat (4) macam waqof sebagai berikut:
1.
Waqof Ikhtibary, yaitu berhenti membaca untuk mengambil nafas, namun maksud
dan tujuannya adalah untuk melatih atau menguji seorang murid bagaimana cara
mewaqofkan jika sewaktu-waktu bermaksud berhenti mendadak.
2.
Waqof Intidzary, yaitu berhenti membaca untuk jam’ul qira’at atau
mengumpulkan macam-macam wajah qira’at karena ragamnya riwayat. Ini hanya
berlaku untuk pembaca al Qur’an yang belajar Qira’at Sab’ atau Qira’at ‘Asyr.
3.
Waqof Idltitary, yaitu berhenti membaca karena terpaksa, mislanya kehabisan
nafas, lupa atau tidak mampu meneruskan bacaan dan yang semisalnya.
4.
Waqof Ikhtiyary, yaitu berhenti membaca untuk mengambil nafas yang memang
disengaja, tidak ada sebab-sebab seperti keadaan yang terjadi pada tiga (3)
macam waqof di atas. Dan waqof inilah yang terbagi lagi menjadi lima (lima)
yang sudah disebutkan di atas.[9]
Rumus-rumus waqof dalam al Qur’an, sebagai berikut:
NO
|
RUMUS
|
MAKNA
|
MAKSUD
|
HUKUM
|
1
|
م
|
لازم
|
Tetap
|
Lebih utama waqof
|
2
|
ط
|
مطلق
|
Tanpa ada qoyyid
|
Lebih utama waqof
|
3
|
ج
|
جائز
|
Boleh
|
Lebig baik waqof
|
4
|
قف
|
امر لفظ وقف
|
Waqoflah
|
Lebih utama waqof
|
5
|
قلى
|
الوقف اولى
|
Waqof lebih utama
|
Lebih utama waqof
|
6
|
ز
|
مجوز
|
Dibolehkan
|
Lebih utama washol
|
7
|
ص
|
مرخص
|
Dimurahkan
|
Lebih utama washol
|
8
|
صلى
|
الوصل اولى
|
Washol lebih utama
|
Lebih utama washol
|
9
|
ق
|
قيل وقف
|
Pendapat: diwaqofkan
|
Lebih baik washol
|
10
|
لا
|
لا تقف
|
Jangan waqof
|
Lebih utama washol
|
11
|
|
معافقة
|
Rangkulan
|
Boleh waqof pada salah satunya dan tidak boleh
waqof pada keduanya
|
Sekedar catatan, bahwa tidak ditemukan dalam al Qur’an waqof
yang hukumnya wajib, dengan maksud akan berdosa jika tidak mengamalkannya. Pula
tidak ditemukan waqof yang hukumnya haram, dengan maksud akan berdosa jika ada
pembaca yang melakukannya. Kecuali dengan sebab-sebab tertentu yang bisa
menarik menjadi haram, seperti sengaja waqof (berhenti) pada lafadz ومامن اله dan pada lafadz انى كفرت tanpa sebab darurat. Namun, walau
tidak ada maksud atau kesengajaan dalam waqof pada lafadz tersebut di atas,
sebaiknya jangan dilakukan, karena dapat menimbulkan kesalahpahaman.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disebutkan dapat disimpulkan
bahwa qolqolah dalam ilmu tajwid adalah huruf ق ط ب ج د yang dalam membacanya harus disertai dengan bendalan-bendalan.
Cara membacanya harus disertai dengan tekanan, sehingga menimbulkan getaran.
Waqof adalah tempat pemberhentian bacaan, dan ibtida’ merupakan tempat dimana pembaca memulai bacaannya kembali.
B.
Saran
Demikianlah tugas penyusunan karya tulis ini kami
persembahkan. Harapan kami dengan adanya tulisan ini bisa menjadikan kita untuk
lebih menyadari bahwa agama islam memiliki khazanah keilmuan yang sangat dalam
untuk mengembangkan potensi yang ada di alam ini dan merupakan langkah awal
untuk membuka cakrawala keilmuan kita, agar kita menjadi seorang muslim yang
bijak sekaligus intelek. Serta dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa
difahami oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para
pembaca, khususnya dari dewan guru yang telah membimbing kami. Apabila ada
kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini, kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muthohir Ahmad bin
Abdur Rahman al Muroqy, Tuhfatul Athfal, thoha Putra, Semarang 1381 H
2.
Drs. HM.
Sholahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, Intimedia Cipta Nusantara,
Jakarta 2002
3.
Ustadz Ahamad
Sunarto, Terjemah Hidayatul Mustafid, Pustaka al Alawiyyah, Semarang
1412 H
4.
KH. Ulin Nuha
Arwani, Yanbu’a, Pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an, Kudus 2004
5.
Muhammad Mundzir
Nadzir, Tembang Rojaz Tanwirul Qori’, Surabaya
6.
Dr. H. Ahmad
Fathoni, Lc., MA., Petunjuk Praktis Tahsin Tartil al Qur’an; Metode Maisura,
Institut PTIQ, Jakarta 2012
[1]
Dr. H. Ahmad Fathoni, Lc., MA., Petunjuk
Praktis Tahsin Tartil al Qur’an; Metode Maisura, Institut PTIQ, Jakarta,
hal
[6] Dr. H. Ahmad Fathoni, Petunjuk Praktis Tahsin Tartil al Qur’an;
Metode Maisura, Institut PTIQ, Jakarta, hal
[8]
Ustadz Ahmad Sunarto, Terjemah
Hidayatul Mustafid, Pustaka al Alawiyyah, Semarang, hal 110- 116
[9]
Dr. H. Ahmad Fathoni, Petunjuk
Praktis Tahsin Tartil al Qur’an; Metode Maisura, Institut PTIQ, Jakarta,
hal
[10]
Ahmad Muthohir bin Abdur Rohman
al Muroqy, Tuhfatul Athfal, Thoha Putra, Semarang hal 30